1.
Pendahuluan.
Dalam memperlajari hak asasi manusia maka kita mengenal adanya
teori hukum alam yang dikembangakan oleh john locke yang menyetakan bahwa hak
asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia dan bersifat universal (
menyeluruh )dan inalianabe (idak dapat dicabut)
dan berdasarkan kontrac social (social contrac) prlindungan atas hak
yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara[1].
Pandangan john locke akan teori kondrati (alam) ini mendapatkan
tantangan yang serius dari Edmund burke. Dan penentang yang pailing terkenal
adalah Jeremy bethan yang mana ia mengkiritik
bahwa teori kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan
diverivikasikebenarannya. Burke mengatatakan bahwa “ bagi saya hak dan hukum
merupakan hal yang sama, karena saya tidak menganal hak yang lain. Hak bagi
saya adalah anak andung hukum: dan berbagai fungsi hukum lahirnlah beragam
jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah memiliki seorang
ayah[2].
Kelompok penolakan terhadap teori kodrati ini disebut dengan utilitarian.
Teori utilitarian ini kemudia di perkuat oleh mazhab positivism
yang di kembangan oleh john Austin dengan lebih tersitematis. Kaum positivis
berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari negara.
Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tida
datang dari alam atau moral.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menghargai dan
melindungi adanya Hak asasi manusia. Hal ini da[at kita lihat pada konstitusi
negara Indonesia yakni Undang-undang dasar 1945 yang bnayak mengatur tentag
keberadaan HAM ini. seperti yang dijelaskan dalam pasal 27, 28A hingga 28 J, 29
(2), 30 (1) dan 33 .
Selain itu sebagai salah satu negara yang memiliki tujuan untuk
menghapuskan penjajahan diatas dunia
Indonesia juga terlibat aktif dalam organisasi PBB dan telah menyetejui
dan menandatangani universal declaration of human rights.
2.
Rumusan Masalah:
yang menjadi pertanyaan adalah dari keempat teori HAM ini manakah
yang paling berpengaruh di Indonesia? Berikan penjeasan beserta studi kasus dan
dasar hukum dan teori tentang teroi HAM yang dianut di Indonesia.
3.
Pembahasan.
sebagai suatu bangsa yang lahir akibat dari penjajahan selama
ratusan tahun, maka HAM bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Dengan
bermodalkan keyakinan bahwa hak asasi dasar seorang manusia adalah menentukan
nasibnya sendiri sehingga Inodesia pada saat itu brusaha untuk meraih
kemerdekaanya dari penjajahan. Sebagai bukti, maka ungkapan yang pertama dalam
pembukaan UUD 1945 adalah tekad untuk menghapuskan penjajahan dari permukaan
bumi karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Selain itu apabila kita meninjau isi dari pada sila dari
pancasasila, maka kita akan mengetahui tentang jenis Hak asasi manusia yang
ianut di Indonesia. Jika kita meihat sila pertama dalam Pancasila yakni
ketuhanan yang maha esa maka Sila ketuhanan yang maha esa mengandung pengakuan
terhadap Tuhan yang maha esa dan menjamin setiap orang untuk beribadah sesuai
dengan keyakinannya masing-masing. Pengakuan terhadap Tuhan yang maha esa
merupakan perwujudan dari rasa syukur kepada Tuhan bahwasannya asal segala
kehidupan berasal dari Tuhan. Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Oemar sumadji
SH ((dalam symposium kebangkitan semangat “66 menjelajah trace baru. 1966:
Indonesia negara Hukum”) bahwa ketuhanan yang maha esa adalah “causa prima”
atau sebab yang pertama, sebagai asal dari segala kehidupan yang mengajarkan
persamaan, keadilan, kasih sayang dan kehidupan yang tentram. Dan ini semua
sama dengan pengakuan terhadap hak asasi manusia[3].
Menurut Jerome j shestack, istilah HAM tidak ditemukan dalam
agama-agama traditional. Namun demikian ilmu tentang ketuhanan (theology)
menghadirkan landasan bagi suati teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih
tinggi dari pada negara dan sumbernya adalah Tuhan (supreme being). Tentunya
teori ini mengadaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai
sumber dari HAM.[4]
Secara yuridis kita juga dapat melihat pada undang-undang HAM nomor
39 tahun 1999 pasal 1 angka 1 mengartikan HAM sebagai “Hak asasi manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk tuhan yang maha kuasa dan
merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum serta perlindungan harkat martabat manusia” . begitu pula pada Undang-undang tentang
pengadilan pada pasal 1 ayat 1 yang
memberikan definisi HAM sama seperti yang diberikan pada UU HAM nomor 39 tahun
1999. Pernyataan lainnya yang mendukung tentang adanya Hak kodrati dalam ham
adalah pasal 2 UU nomor 39 tahun 1999 yang menjadi asas HAM di Indonesia yaitu
“ Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia sebagia hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan”
Sebagai sebuah gambaran terkait HAM yang ada di Indonesia maka kita
bisa menyimak kasus Marsinah berikut :
Pada
pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat
kerja Marsinah—resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran
Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk
menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut,
Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk
membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
Selanjutnya
pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf
dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker
Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data
inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat
tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal
4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan
mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan
mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam
yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para
satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk
para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Aparat
dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi
berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan
pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan
tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat
menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau
mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan
pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen
50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan
tercapailah kesepakatan bersama.
Namun,
pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir.
Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu
diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang
jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK.
Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang
bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.
Marsinah
bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim.
Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat
mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah
mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang
terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di
Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada
tanggal 9 Mei 1993.
Ø
Kematian Marsinah
Mayatnya
ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia
yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur
tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya
lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya
hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada
bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada
bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan
dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Ø
Proses Penyelidikan dan Penyidikan
Tanggal 30 September 1993 telah
dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
kasus pembunuhan Marsinah.
Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas
Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim
serta Den Intel Brawijaya.
Delapan
petinggi PT CPS (Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono, 33 tahun, pemimpin pabrik
PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun,
kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto,
22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bambang
Wuryantoyo, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi, 57 tahun,
satpam pabrik PT CPS Porong; Karyono
Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa
prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala
Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan
fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18
hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja
D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari
kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara
resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik
Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal
340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil
penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke
pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di
Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam
CPS) mengeksekusinya.
Di
pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya
yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding
ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah
pihak sehingga muncul tuduhan bahwa
penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Ø
Temuan Komnas HAM
Tim
Komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi keterlibatan tiga
anggota militer dan seorang sipil dalam kasus pembunuhan Marsinah. Salah satu
anggota Komnas HAM Irjen Pol. (Purn) Koesparmono Irsan mengemukakan, agar kasus itu bisa terungkap
harus ada keterbukaan semua pihak dengan berlandaskan hukum, bukan masalah
politik. Ia beranggapan, jika masalah itu dibuka secara tuntas maka
kredibilitas siapa saja akan terangkat. "Yang jelas Marsinah itu dibunuh bukan
mati dhewe, tentu ada pelakunya, mari kita buka dengan legawa. Makin terbuka
sebetulnya kredibilitas siapa saja makin terangkat. Tidak ada keinginan
menjelekkan yang lain," katanya. Ia mengakui bahwa kasus yang sudah terjadi tujuh tahun
lalu itu hampir
mendekati kedaluwarsa untuk diproses secara hukum. Kendala yang dihadapi kepolisian saat ini adalah masalah pengakuan dari semua pihak. "Mau nggak mengakui sesuatu yang memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum, jangan politiknya. Kalau hukum itu 'kan tidak mengenal Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yang ada adalah orang yang melakukan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yang ada solidaritas politik," katanya.
mendekati kedaluwarsa untuk diproses secara hukum. Kendala yang dihadapi kepolisian saat ini adalah masalah pengakuan dari semua pihak. "Mau nggak mengakui sesuatu yang memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum, jangan politiknya. Kalau hukum itu 'kan tidak mengenal Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yang ada adalah orang yang melakukan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yang ada solidaritas politik," katanya.
Temuan lain Komnas HAM yaitu dalam proses penangkapan dan penahanan
para terdakwa dalam Kasus Marsinah itu melanggar hak asasi manusia. Bentuk
pelanggaran yang disebutnya bertentangan dengan KUHAP itu, antara lain, adanya
penganiayaan baik fisik maupun mental. Komnas HAM mengimbau, pelaku
penganiayaan itu diperiksa dan ditindak.
Ø
Upaya Tindak Lanjut Penuntasan Kasus Marsinah
Setelah melalui proses kasasi di MA yang
menghasilkan keputusan bebas murni terhadap para terdakwa dalam Kasus Marsinah
tersebut diatas, tidak serta merta menghentikan tuntutan masyarakat luas bahkan
internasional melalui ILO, yang senantiasa menuntut pemerintah RI untuk tetap
berupaya mengusut tuntas Kasus Marsinah yang dalam catatan ILO dikenal dengan
sebutan kasus 1713.
Komitmen pemerintah RI dalam mengusut tuntas
kasus tersebut pada awalnya diperlihatkan pada saat pemerintahan era Presiden
Abdurrahman Wahid yang memberikan perintah kepada Kapolri agar melakukan
penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna mengungkap Kasus Marsinah. Begitu
juga pada saat pemerintahan era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga
memiliki komitmen yang sama untuk tetap berupaya menuntaskan Kasus Marsinah.
Namun, sampai dengan saat ini, Kasus Marsinah belum terungkap.
(sumber : http://www.scribd.com/doc/24532924/STUDI-KASUS-MARSINAH di browsing pada hari jum’at, 20 April 2011 pukul 19.00)
Dalam hal ini
kasus marsinah di golongkan dalam kasus pelanggaran HAM sebagaimana yang dijelaskan
pada pasal 1 ayat 6 “Pelanggaran hak
asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanismehukum yang berlaku” dan Pasal 9
butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999 “Setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya” Dalam kasus ini menyatakan bahwa hak
asasi manusia merupakan hal yang tidak boleh diambil begitu saja oleh
orang lain bahkan aparat negara sekalipun baik itu sengaja maupun tidak. Semua
pihak yang terlibat dalam kasus pembunuhan marsinah seharusnya mendapatkan
perlakuan hukum yang sama baik itu pihak manjaemen PT. CPS atupun dari pihak anggota KODIM yang
terlibat. Walaupun dalam UU no 36 tahun
1999 Ada pembatasan yang dilakukan oleh
pemerintah yang termaktub dalam pasal 73 dan pasal 74 undang-undang HAM nomor
36 tahun 1999 bertujuan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban. umum,
dan kepentingan bangsa. Dan tak seorangpun baik pemerintah, partai, golongan
atau pihak manapun untuk mengurangi, merusak atau menghapus tentang Hak asasi
manusia itu. kasus ini juga bahkan mendapatkan perhatian khusus dunia dan
menjadi catatan dalam ILO dan dikenal sebagai kasus 1713.
Teori ketuhanan
yang dianut di Indonesia sendiri diperkuat lagi dengan adanya teori terkait
pergulatan antara teori positivism dan teori kodrati. Menurut pengamatan
mieszyslaw maneli seorang pakar politik dan sarjana hukum perdebaan secara
traditional yang membagi hukum kodrat dan teori positivism saat ini sudah
kehilangan validitas dan ketajaman yang sebelumnya berlaku. Telah terjadi
proses penyatuan (raproacmen) dan tetapi juga suatu proses positivasi ide-ide
HAM kodrati. Menurut Todung mulyaLubis, maneli mungkin benar, khususnya jika
kita mmbaca instrument-instrumen hukum HAM international dan dari berbagai
negara sebagai contoh konstitusi Indonesia, Malaysia dan Filipina, telah memuat
ketentuan-ketentuan yang merupakan hak kodrati.[5]
Artinya perdebaan teori kodrtai dan positivime ini mulai mengalami suatu fase
penggabungan di mana hak-hak yang bersifa kodrati itu di tuliskan atau di
jawantahkan dalam konstitusi-konstitusi negara. Dan Indonesia adalah salah satu
negara yang menganut teori kodrati yang memasukannya kedalam konstitusi negara.
4.Kesimpulan
Dari
semua penjelasan diatas maka sudah dapat dipastikan bahwasannya Indonesia dalam
pelaksanaan teori HAM lebih banyak mendapatkan pengaruh dari teori hukum alam di mana dalam konstirusi
negara Indonesia lebih banyak berisi terkait hak-hak dasar yang memang melekat
di diri manusia itu sendiri sebagai suatu pemberian dari Tuhan yang maha esa.
Hak-hak alamiyah manusia ini merupakan pemberian dari Tuhan yang maha esa dan
harus dijaga dan dilindungi oleh semua pihak baik indvidu, masyarakat dan juga negara,
[1]
Hukum hak asasi manusia, rhona K.M. Smit at al,-------,Yogyakarta, pusham UII,
2008 hal 8)
[2]
ibid
[3]
Hukum tata negara Indonesia, Dr CST Kansl SH, 1985, Bina aksara, Jakarta hal
183)
[4]
Makalah “sejarah teori prinsip dan kontroversi HAM” oleh Andre sujatmoko
disampaikan pada trining metode pendekatan pengajaran, penelitian, penulisan
desertasi, dan pencarian bahan-bahan hukum HAM bagi dosen-dosen hukum HAM,
Yogyakarta 12-13 maret2009
[5] Ibid.